Our Exlusive Blog

Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes.

Main Posts Background Image

Main Posts Background Image
Tampilkan postingan dengan label Siaran Pers. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Siaran Pers. Tampilkan semua postingan

Selasa, 03 September 2024

Pernyataan Sikap Beranda Perempuan dan Beranda Migran


 




PERNYATAAN SIKAP

LINDUNGI MAHASISWA DARI SEGALA BENTUK EKSPLOITASI DI DUNIA PENDIDIKAN,
PENUHI HAK KORBAN DAN TUNTUT PERTANGGUNGJAWABAN SEMUA PIHAK TERLIBAT

16 Agustus 2024

Beranda Perempuan dan Beranda Migran mengapresiasi langkah serius yang diambil oleh Polda Jambi dalam menetapkan 4 orang (SS, SW, RA dan Y) dari Universitas Jambi sebagai tersangka dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada Selasa, 23 Agustus 2024. Ini merupakan pelanggaran lebih lanjut atas proses hukum terkait program magang bodong Ferienjob di Jerman yang melibatkan 1.047 mahasiswa dari 33 Universitas Indonesia.

Perkembangan langkah hukum ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam anggota melakukan pelanggaran dan ekspolitasi di dunia pendidikan. Langkah ini merupakan harapan cerah bagi para pelajar korban dalam memperjuangkan hak-hak perlindungan dan restitusi. Kami akan selalu mendikung langkah pemerintah dalam mengawal Universitas dalam menjalankan mandapat menciptakan keberlangsungan pendidikan yang aman dan memberdayakan siswa; bukan program eksploitatif mahasiswa yang bersembunyi di sistem pendidikan dan mengatasnamakan bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Penipuan dan program eksploitatif ini sangat merugikan kondisi finansial, fisik dan psikis siswa korban. Oleh karena itu, kami, mendorong pemerintah untuk juga mengupayakan menyediakan hak-hak korban atas restitusi dan perlindungan.

Dalam penanganan kasus ini, Beranda Perempuan dan Beranda Migran tidak hanya memandang kasus ini sebagai TPPO semata. Ini merupakan masalah struktural yang terjadi di sistem pendidikan Indonesia yang membuat siswa menjadi sasaran empuk magang. Program magang Ferienjob ini merupakan cerminan bahwa masih banyak program di bawah sistem pendidikan Indonesia yang menawarkan pembelajaran semu. Program pemagangan seharusnya memberikan kesempatan bagi pelajar untuk mengasah keterampilan dan mempersiapkan pelajar untuk terjun ke dunia kerja. Namun, program pemagangan ini justru menjadikan mahasiswa sebagai tenaga kerja murah yang tidak mendapatkan perlindungan. Program pemagangan ini membuka celah melalui praktik-praktik kerja paksa untuk menyediakan kondisi kuliah dan eksploitasi. Ini merupakan panggilan kepada pihak terkait dalam pendidikan dan pemerintahan untuk melakukan investigasi dan tindakan serius.

Universitas Jambi (UNJA) merupakan salah satu universitas yang terlibat dalam program magang bodong Ferienjob ini memfasilitasi pemberangkatan 87 mahasiswa ke Jerman dalam periode Oktober 2023 – Desember 2023. Keberanian mahasiswa korban dalam menyuarakan kondisinya berhasil mendorong pihak Universitas Jambi untuk memberi tanggapan terkait kasus yang memuat secara secara secara virus. Kami mengapresiasi sikap terbuka Universitas Jambi dengan menyelenggarakan audiensi bersama beberapa mahasiswa korban peserta program Ferienjob.

Kami juga mengapresiasi sikap terbuka Universitas Jambi dalam mengakui keterlibatan universitas dengan pihak terkait seperti SH (salah satu guru besar di UNJA), PT CV-Gen dan PT SHB (keduanya merupakan agen yang memfasilitasi rekrutmen dan pengiriman mahasiswa peserta program magang pekerjaan Ferienjob); sikap tegas persetujuan kerjasama (MoU) antara Universitas Jambi dan PT SHB; dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Langkah koorperatif yang di ambil Universitas Jambi ini merupakan sebuah inisiasi baik untuk membersihkan segala bentuk praktik pelanggaran dan keculasan yang dilakukan oleh para oknum di lingkungan kampus dan harus di tindaklanjuti untuk menjaga nama baik dan keamanan kampus.

Sesuai dengan  Keterangan Pers Universitas Jambi terkait Program Magang Internasional Ferionjob di  Jerman  yang dirilis pada 26 Maret 2024, kami Beranda Perempuan dan Beranda Migran mengingatkan kembali komitmen Universitas Jambi untuk menggambarkan mahasiswa akomodatif dan pro-korban dengan memberikan bantuan/pendamping dalam bentuk apapun, salah satunya membentuk Posko Layanan dan memberikan trauma healing kepada siswa korban. Kami juga mendorong Universitas Jambi untuk memberikan perlindungan dan menjamin keamanan dan keselamtaan mahasiswa korban.

Mahasiswa korban diharuskan menanggung seluruh biaya mulai dari keberangkatan dan pemulangan bahkan biaya selama bekerja di Jerman seperti akomodasi, makanan, transportasi dan komunikasi. Dari kasus-kasus yang ditangani Beranda Perempuan dan Beranda Migran, para pelajar yang tidak mampu akhirnya diberi dana talangan oleh PT SHB. Pembayaran dilakukan dengan cara dicicil upah yang mereka terima di Jerman. Namun dari penemuan kami, beberapa biaya seperti tiket pesawat yang dibuat dua kali lipat lebih mahal dari harga normal. Akhirnya beberapa pelajar yang sudah pulang ke Indonesia masih terjebak hutang karena tidak mampu melunasinya.

Sejak November 2023, beberapa korban yang diampingi Beranda Perempuan mengaku telah mendapatkan tiga kali pesan ancaman dari SW untuk melunasi biaya hutangnya. SW juga mengancam akan memperparah status kemahasiswaan mereka jika tidak segera melunasi utangnya. Penagihan ini telah menimbulkan tekanan, ketakutan dan trauma bagi korban. Mereka khawatir status pelajar dan tugas akademiknya di kampus dapat terganggu karena hal ini.

Munculnya keberanian korban untuk bersuara dalam menuntut kembali haknya seharusnya sudah mendapat dukungan penuh dari semua pihak. Keberanian mereka telah berhasil mengungkap sindikat yang dapat merugikan mahasiswa dan institusi pendidikan. Pemerintah dan universitas harus memberikan jaminan hak atas kebebasan bersuara untuk menyampaikan dan mengungkapkan kebenaran sesuai dengan nilai intelektualitas dan keilmiahan yang dipegang teguh sebagai institusi pendidikan.

Lebih dari itu, kami percaya bahwa keadilan hanya dapat terwujud sepenuhnya ketika pelaku hukum dan korban mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan. Untuk itu, kami tetap menuntut kepada pemerintah Indonesia dan pihak kampus Universitas Jambi untuk :

1.     Menghapuskan segala bentuk biaya hutang, menghentikan hutang-hutang dan ancaman terhadap korban

2.     Memberikan kompensasi atau restitusi bagi korban dan keluarganya

3.     Menyediakan layanan konseling dan pendampingan Hukum yang mudah diakses oleh korban

4.     Menjamin keamanan dan keselamatan bagi semua korban

5.     Meninjau kembali sistem pendidikan yang membuka peluang eksploitasi terhadap siswa 


=======

Narahubung:

Beranda Perempuan, Zubaidah (0813 6639 9190) 

Beranda Migran, Hanindha Kristy (0822 2384 5500)

 

 


Minggu, 15 Oktober 2023

NEGARA WAJIB RAWAT KORBAN ASAP

 


Negara Wajib Rawat Korban Asap !

Masyarakat Jambi menghadapi masalah kesehatan serius akibat kebakaran hutan dan lahan 2 bulan terakhir. Racun asap yang dihirup akan meyebabkan paru-paru kronik dan masalah jantung terutama pada anak-anak, lansia dan perempuan hamil. 

Dilansir dari detik.com Jumlah penderita ISPA mencapai 48.740 kasus tersebar di beberapa Puskemas Kota Jambi. Hal ini mencerminkan kegagalan Pemerintah dalam menangani kebakaran hutan dan lahan yang terindentifikasi kerap terjadi berulang di wilayah konsesi perusahaan.

Padahal Konstitusi sudah mengamanatkan perlindungan bagi semua warga untuk mendapatkan Hak atas lingkungan yang baik dan sehat. Namun, praktiknya  pemerintah lalai. Tidak ada upaya indentifikasi dan pemulihan bagi kesehatan penduduk yang potensial terdampak asap di pedesaan yang tersebar di beberapa kabupaten di Jambi. 

Hasil dokumentasi Beranda Perempuan menemukan sektar 647 Jiwa, 102 Bayi dan 29 Lansia di Pangkalan Ranjau Desa Sungai Renjah Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi tidak mendapatkan akses layanan kesehatan bahkan selembar masker pun tidak mereka dapatkan. Anak-anak mengeluh batuk-batuk dan demam.  Kondisi ini semakin parah ditengah keluhan warga menghadapi krisis air bersih. 

"8 Tahun menghadapi Asap tidak lantas membuat pemerintah lebih sigap,  Anak-Anak Tak berdosa, Jadi korban". Ungkap Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan.

Selasa, 26 September 2023

PRESS RELEASE: Kritik atas Tuntutan 15 Tahun Penjara Terhadap YSA, Jangan Hukum Korban Kekerasan Seksual !

 





Kritik atas Tuntutan 15 Tahun Penjara Terhadap YSA,  Jangan Hukum Korban Kekerasan Seksual !

Rabu (20/09/2023) LBH ARA, LBH BERINGIN, YLBH PADANG, BERANDA PEREMPUAN

Senin 18 September 2023 Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan 15 tahun penjara terhadap Yunita Sari Anggraini. Perempuan berumur 21 tahun ini diancam pidana pasal 82 ayat (2) UU tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang jo pasal 65 ayat 1 KUHP terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana "melakukan persetubuhan yang dilakukan secara berlanjut dan terhadap beberapa orang anak.

Tuntutan ini merupakan praktik pelanggaran bagi pemenuhan hak atas peradilan yang adil (fair trail) bagi YSA sebagai perempuan korban kekerasan seksual. Sejak awal, aparat hukum melanggar prinsip asas praduga tak bersalah dengan mengabaikan laporan YSA yang mengaku dirinya sebagai korban ditengah ramainya pemberitaan media yang menarasikan YSA sebagai pelaku pencabulan terhadap 17 anak.

Laporan YSA ditulis dalam bentuk pengaduan Masyarakat yang tidak memiliki nomor register (selanjutnya dapat dibaca dalam Perpol Nomor 09 Tahun 2018) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bukan administrasi untuk melakukan penegakan hukum pidana. Pelaporan tindak pidana oleh YSA diterima oleh Polresta Jambi tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 24 KUHAP, sementara laporan orang tua anak-anak yang diterima laporannya pada hari itu sebagaimana LP nomor: LP/B- 401/II/2023/SPKT/Polda Jambi.

Kepada Pendamping YSA menuturkan ia samasekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara menungkapkan peristiwa kekerasan yang menimpanya. Aparata Penegak Hukum (APH) Justru melakukan victim blaming terhadap YSA. Hingga kini YSA ditetapkan sebagai terdakwa dan menjadi penghuni Lapas kerap mendapatkan stigma dan rentan konflik dengan sesama penguni Lapas.

Selain itu, APH tidak cermat dalam menguji pembuktian. Dalam konferensi Pers Polresta Jambi mengatakan penutupan kasus terhadap laporan YSA dengan alasan Tidak adanya tanda-tanda kekerasan didiri YSA, Visum yang dijalani oleh YSA adalah bentuk YSA mencoba melukai dirinya sendiri. Ini tidaklah patut dibenarkan karena tidak pernah diungkapkannya data yang bisa menunjukkan DNA pelaku pencakaran hanya sebatas keterangan yang tidak diketahui asalnya dari siapa

Klaim mengenai visum vagina yang tidak menemukan cairan sperma juga adalah bentuk terlambatnya Visum Vagina dilakukan, keterangan mengenai pengakuan anak yang melihat dan menyaksikan YSA dipegang-pegang dan sempat minta tolong dikonter kembali keterangannya dengan BAP kedua yang mengatakan anak tersebut diajarkan, hal ini telah terbantahkan dipersidangan, anak yang melihat dan menyaksikan dengan tegas mengatakan hal yang sama didepan persidangan dan tidak mengetahui isi dari BAP keduanya.

Pentingnya Kehadiran UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi jawaban untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang seringnya terjadi di tempat tertutup dan tersembunyi serta minimnya pembuktian, dalam konteks pembuktian satu keterangan korban ditambah dengan bukti atau keretangan lain dapat membawa seseorang untuk bisa didakwa didepan persidangan.

Jaksa harus mengungkap kasus dan mendapatkan fakta persidangan yang tidak diskriminatif dan memastikan tidak memperparah luka YSA sebagai korban kekerasan seksual sesuai dengan dengan amanat Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Pidana.

Aparat hukum harus cermat dan dapat mempertimbangkan keterangan 3 ahli yang sudah dihadirkan dalam persidangan untuk meringankan terdakwa yaitu ahli psikologi Forensik Nathanael Eldanus J. Sumampouw M.Psi., M.Sc, menuturkan mengenai bagaimana mendapatkan keterangan yang kredibel.

Diantaranya pertama, keluar secara spontan/bagaimana suatu keterangan pertama kali muncul. kedua mengevaluasi metode yaitu bagaimana mendapatkan keterangan dari metode atau teknik bertanya yang tepat dan tidak dalam konteks mensugestif, misalnya melemparkan pertanyaan tertutup yang hanya membutuhkan jawaban iya atau tidak saja. ketiga mendapatkan keterangan secara verbal dengan melakukan analisa statement dengan basis fakta atau data lainnya. Selain itu juga ia menjelaskan terkait bagaimana psikologis korban kekerasan seksual juga bagaimana psikologis pelaku kekerasan seksual.

Ahli kedua yaitu Yuniyanti Chuzaifah dimandatkan dari Komnas Perempuan yang sebelumnya telah melakukan penelusuran kasus dan mendokumentasikan kasus YSA. ia meyampaikan temuannya “Seharusnya YSA hadir disini sebagai korban, bukan sebagai Terdakwa, YSA mengalami Diskriminasi, Stigma dan relasi kuasa yang mempengaruhi dan berperan besar sehingga YSA menjadi terdakwa, YSA


Sudah di Reviktimisasi berulang-ulang, Yuni juga menyampaikan anak-anak sebenarnya juga adalah korban dari kondisi sosial yang tidak memberikan pemahaman tentang seksualitas dengan benar, sehingga potensi anak-anak menjadi pelaku kekerasan seksual kemudian bisa terjadi.

Selanjutnya pada 4 September pakar seksologi dan kesehatan reproduksi Fakultas Kedokteran UGM Dr. Dra Budi Wahyuni MM. MA juga memberikan pandangannya didepan pengadilan bagaimana jahatnya system patriakis yang memilih YSA menjadi kambing hitam dalam permasalahan ini, YSA adalah perempuan yang memiliki bobot badan hanya 40 kg, sedang memiliki anak yang sedang menyusui, dimana ibu yang menyusui memiliki sensitifitas yang tinggi, hasrat seksual yang cenderung akan menurun dari biasanya.

Dia menyebutkan perempuan memiliki vagina yang bisa kapan saja dimasuki dan memberikan respon atas itu, tuduhan mengenai perempuan menikmati seks karna mengeluarkan cairan tidaklah patut dianggap menjadi alasan pembenar kekerasan seksual terjadi terhadapnya. Sedangkan laki-laki jika dihadapkan dalam keadaan takut maka tidak akan mampu penetrasi atau ereksi.

Relasi Kuasa Anak laki-laki secara berkelompok

Relasi kuasa yang sebenarnya tidak ada di diri YSA yang merupakan pendatang, miskin, dan perempuan yang sudah powerless, YSA adalah korban kekerasan beruntun dan berulang dimana ketiadaan Negara untuk melindungi hak korban kekerasan seksual dibangku sekolah yang berimplikasi juga terputusnya hak pendidikan terhadap YSA.

Dalam fakta Persidangan pada tanggal 20 Juli 2023 Jaksa Penuntut Umum menghadirkan 13 orang saksi orang tua dan anak sekaligus untuk diperiksa didepan persidangan, Pendamping Hukum YSA keberatan untuk saksi diperiksa sekaligus, sehingga pada tanggal 20 Juli 2023 hanya diperiksa satu saksi Pelapor dan satu orang anak, dan ditemukan fakta persidangan bahwasannya anak dengan tegas menolak adanya diberikan tontonan video porno, anak juga menolak adanya diimingi ataupun diberikan bermain Play Station gratis, ataupun diberikan uang, anak juga menyebutkan mengetahui dengan sendirinya kode-kode tentang ajakan untuk seksualitas

Relasi kuasa yang paling memungkinkan yaitu Relasi Kuasa delapan orang anak yang dilindungi oleh RT sekaligus orang tua dan masyarakat yang tidak terima anaknya dituduh sebagai pelaku pemerkosa, dua orang anak yang merupakan ponakan suami dari YSA yang membuat situasi YSA semakin tak berdaya karena adanya dorongan dan tekanan dari mertua, relasi kuasa masyarakat sekitar serta peran RT yang memiliki akses ke media untuk memviralkan sesuatu mendominasi sehingga bisa membalikkan fakta dan situasi.


Beberapa anak perempuan yang dihadirkan sebagai korban terkait Pompa ASI sebagai alat pelecehan juga dihadirkan, namun sebagain besar diantaranya menyebutkan menggunakan pompa ASI dengan inisiatif sendiri dan tidak ada diajarkan langsung oleh YSA, atas tuduhan tersebut JPU tidak ada menghadirkan barang bukti mengenai keberadaan pompa ASI yang dituduhkan menjadi alat pelecehan seksual tersebut.

Atas situasi ini kami pendamping menuntut agar majelis hakim nanti dapat memberikan putusan yang adil dan tidak memenjara korban kekerasan seksual. jikapun hakim ragu sudah seharusnya YSA diputus Bebas, karena lebih baik melepaskan 1000 orang bersalah, daripada harus menghukum 1 orang tidak bersalah

 

 

CP. Pendamping

Alendra (+62 852-6611-2001) PH YSA

Decthree Ranti Putri (082132522017) Advokat Publik/PH YSA

Zubaidah (081366399190) Pendamping 

#JanganPenjarakanKorban #KekerasanSeksual

Minggu, 20 Agustus 2023

Mari Kawal Sidang YSA/Nita Mencari Keadilan

Sidang Nita


Ibu muda, YSA/Nita (21 tahun) di Jambi didakwa pasal 81 ayat 2 Jo Pasal 76 E Undang-Undang tentang perlindungan anak dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. Dia dituntut telah melakukan persetubuhan dengan tipu muslihat dan kerugian rangkaian terhadap sejumlah anak.

Oleh sejumlah media Nita dinarasikan sebagai pelaku kekerasan seksual. Padahal justru sebaliknya. Nita telanjur mengalami stigma dan penghakiman oleh media massa yang mengabaikan fakta-fakta sebenarnya. 

Untuk itu, Beranda Perempuan bersama LBH ARA, LBH Padang, LBH Pekanbaru mengadakan konferensi pers mengundang semua media, aktivis dan pegiat perempuan pada :

Hari/tanggal : Rabu, 26 Juli 2023

Tempat : Kantor LBH ARA

Bagi kawan-kawan yang tidak bisa ikut langsung dapat mengikuti secara virtual melalui https://bit.ly/zoomkonferensipers



Narahubung 

Ani 08218447161

Senin, 24 Juli 2023

Siaran Pers Negara Harus Meminta Maaf, Menegakkan Keadilan dan Ubah Kebijakan yang Merugikan Kartika dan Semua PRT Migran

 

Jakarta, 7 Maret 2023 - Nama Kartika Puspitasari menjadi berita besar di Hong Kong ketika gugatan memenangkan gugatan dan membeli hak ganti rugi setara 1,67 miliar Rupiah pada Februari lalu atas kasus kekerasan dan eksploitasi yang dia dapatkan dari majikannya di sana. Eksploitasi, penganiayaan, kekerasan, penyekapan dan sejumlah perlakuan keji dialami oleh Kartika, seorang pekerja sektor domestik migran di Hong Kong selama lebih dari 2 tahun dari Juli 2010 sampai Oktober 2012. Selain tereksploitasi dan kekerasan, Kartika juga mengalami waktu kerja panjang, tidak digaji, tidak dapat hari libur, tidak dapat jaminan sosial, serta buruknya kondisi kerja dan tempat tinggal. 


PRT migran yang berasal dari Cilacap, Jawa Tengah, ini terpaksa bermigrasi ke Hong Kong setelah sebelumnya bekerja di Singapura demi menghidupi anaknya setelah suaminya meninggal. “Tiga bulan pertama bekerja, majikan masih memperlakukan saya dengan baik. Namun, setelah mereka pindah ke rumah baru, majikan perempuan itu mulai mengubah sikapnya. Majikan saya membuang semua barang-barang saya termasuk pakaian, dokumen dari Indonesia, paspor, kontrak kerja dan KTP Hong Kong,” kata Kartika dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (7/3) siang. 


Kartika bekerja merawat 3 anak dan 2 orang dewasa di keluarga Tai Chi-Wai dan Catherine Au Yuk-shan di kota Tai Po, Hong Kong. Saat musim panas dan dingin, majikannya memaksa Kartika untuk memakai plastik sampah sebagai pengganti baju. Kartika juga disuruh memakai popok setiap hari. Tak jarang, Kartika mendapatkan pemukulan menggunakan tangan, sepatu, gantungan baju, bahkan rantai sepeda. (Cerita selengkapnya silakan diakses di sini: bit.ly/CeritaKartikaMigran ).


Kisah Kartika bukanlah kasus pertama. Pada tahun 2014, Erwiana Sulistyaningsih asal Ngawi, Jawa Timur, juga mengalami perlakuan serupa ketika ia bekerja di Hong Kong. Erwiana, yang kini menjadi aktivis Beranda Migran mengamini sejumlah perlakuan keji seperti penelantaran dan pemutusan komunikasi dengan orang-orang yang membantu memperjuangkan kasusnya. 


Kasus Kartika berulang kasus serupa yang dialami Erwiana saat bekerja di Hong Kong. Artinya, tidak ada upaya perbaikan untuk pencegahan dan perlindungan, terhadap PRT migran di sektor domestik. Sementara, jika hal ini dibiarkan, kasus serupa hanya soal menunggu waktu.



Kamis, 17 Desember 2020

Suara Korban, Penjarakan Pelaku Kekerasan Seksual

 



“Suara Korban, Penjarakan Pelaku Kekerasan Seksual” 

17 Desember 2020 Save Our Sister’s 

Perjuangan panjang Keluarga korban menuntut keadilan hukum bagi keenam anaknya, akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah Agung. dengan keluarnya putusan Mahkamah Agung putusan 3080 K/pid. Sus/2020 terpidana Ambok Lang menjalani penjara selama 3 tahun dan denda 100 juta.

Seperti diketahui sebelumnya, Januari lalu Pengadilan Negeri Jambi memutus vonis bebas Ambok Lang, pelaku pencabulan. Orangtua korban memprotes putusan ini dan mendesak ajukan Kasasi.

Hampir satu tahun, keluarga korban bersama Beranda Perempuan dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengumpulkan bukti berupa video dan pernyataan tertulis bukti traumatik anak-anak korban sebagai bahan pertimbangan di Mahkamah agung. 

Beranda Perempuan memberikan apresiasi kepada Mahkamah Agung karena jernih melihat bahwa tindakan pidana terbukti sah dan meyakinkan sehingga harus mempertanggungjawabkan perbuatannya secara pidana. 

Putusan ini dapat meringankan beban trauma yang dialami anak-anak korban. saat ini, mereka dapat bebas bermain di lingkungan sekitar tempat tinggal tanpa dibebani rasa takut bertemu dengan pelaku. Zubaidah Selaku Juru Bicara Save Our Sister mengatakan “ Pengalaman kasus ini dapat membuka mata semua pihak, suara dan konsistensi perjuangan keluarga korban bersama gerakan masyarakat sipil menjadi arus utama untuk perbaikan sistem hukum di Jambi.” 

Jika aparat hukum mampu menghadirkan keadilan hukum bagi korban kekerasan seksual, maka akan memberi efek positif bagi peningkatkan kepercayaan diri korban kekerasan seksual lainnya untuk berani bersuara dan melaporkan kasusnya ke ranah hukum. 

Ilham selaku Pakar Hukum Save Our Sister mengatakan “bahwa disamping harus menjalankan putusan Mahkamah Agung ini, tentunya hukum administrasi juga akan menanti terpidana karena pidana berstatus sebagai ASN sebab dipidana yang dijatuhkan diatas 2 tahun penjara sebagaimana diatur dalam pasal 87 ayat (4) undang-undang Nomor 5 tahun 2015 tentang aparatur sipin Negara jo pasal 250 peraturan pemerintah Nomor 11 tahun 2017 tentang manajemen Pengawai Negeri Sipil. 

Berdasarkan persoalan diatas, Beranda Perempuan bersama aliansi Save Our Sister, sebuah aliansi yang beranggotakan seniman, wartawan, mahasiswa, NGO, pengacara, peyintas dan keluarga korban memberikan rekomendasi sebagai berikut : 

  1. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Perlindungan Anak dan Peraturan Daerah Provinsi Jambi No 7 Tahun 2019 tentang peyelenggaraan perlindungan Perempuan dan Anak, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak provinsi Jambi mempunyai kewajiban memberikan layanan pendampingan psikologis dan melakukan kordinasi lintas instansi untuk memastikan reintegrasi sosial bagi korban dan pemenuhan hak anak korban yang berasal dari keluarga miskin
  2. Pemerintah provinsi Jambi harus tegas memberikan sangsi administratif kepada pelaku sebagai seorang pendidik yang berstatus Aparatur Sipil Negara yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anak didik. 
  3. Aparat hukum melakukan upaya preventif agar tidak terjadi keberulangan kasus dan lebih cermat dan berhati-hati dalam menangani perkara perempuan dan anak.

Senin, 27 Juli 2020

Pelaku Cabul di Jambi Divonis Bebas, Save Our Sister: Aparat Penegak Hukum Abaikan Psikologis Anak


Pengadilan Negeri Jambi menjatuhkan vonis bebas tanggal 23 Januari lalu kepada pelaku pencabulan terhadap enam orang anak. Keluarga korban merasa kecewa dan meminta Jaksa mengajukan kasasi.

Kekecewaaan tersebut diungkapkan salah satu ibu korban yang mengatakan bahwa putusan tersebut tidak adil. Sebab, selama persidangan anak-anak tidak didampingi psikolog, sehingga anak-anak merasa ketakutan di itimidasi oleh pelaku.

Zubaidah juru bicara Save Our Sister menilai penegakan hukum tidak bersahabat pada anak-anak yang menjadi korban. Selama proses peyidikan, penuntutan dan pengadilan hak anak sebagai korban maupun sebagai saksi untuk mendapatkan layanan bantuan hukum justru telah dilanggar.

Selain itu menurut Zubaidah aparat penegak hukum juga mengabaikan kondisi psikologis korban yang masih anak-anak. Bagi anak yang menjadi korban, tidak mudah untuk menceritakan peristiwa yang dialaminya karena berhadapan dengan pelaku yang selama ini menjadi guru yang seharusnya mengayomi.

“Kuasa pelaku sebagai guru yang seharusnya mengayomi justru disalahgunakan untuk mengintimidasi dan menciptakan ketakutan bagi anak-anak sebagai korban maupun sebagai saksi. Jika aspek psikologis ini tidak menjadi pertimbangan maka aparat penegak hukum sejatinya melanggar ketentuan UU No 35 tahun 2014 tentang perubahan atas UU No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak," ungkapnya, pada Kamis (6/2).

Zubaidah mengatakan untuk mendapatkan keadilan, orang tua akan melakukan kampanye untuk menekan jaksa agar berpihak kepada korban dan meyampaikan berbagai kejanggalan dan mengajukan hasil pemeriksaan psikiater dalam memori kasasi sebagai satu-satunya bukti yang sah sesuai dengan KUHAP.


Sumber : Tribun Jambi


Save our Sister: Vonis Bebas Jadi Rabuk Pencabulan Anak


Belasan perempuan dan beberapa orang laki-laki berbaris di gerbang masuk Kejaksaan Tinggi Jambi. Mereka membentangkan sejumlah spanduk bertuliskan "Hukum berat pelaku pencabulan anak."

Sesekali mereka berteriak lewat pelantang suara agar "Vonis bebas pelaku pencabulan anak dicabut". Juga orangtua korban turut datang dalam aksi damai itu. Dengan suara terbata-bata, salah satu orangtua korban berteriak kalau anak mereka mengalami trauma yang mendalam.

Aksi damai yang digelar oleh gerakan Save our Sister (SoS), Jumat 14 Februari 2020 itu, bertepatan dengan hari kasih sayang atau Valentine Days. Ini dilakukan sebagai bentuk kasih sayang mereka terhadap enam anak korban pencabulan yang kini masih mengalami trauma.

Hari kasih sayang itu mereka memaknai dengan memberikan dukungan terhadap korban. Pun agar pelaku pencabulan dapat dijerat dengan hukuman yang berat. Mereka masih berharap keadilan itu berpihak kepada korban melalui upaya kasasi yang dilayangkan kejaksaan.

Kini enam orang anak yang menjadi korban pencabulan mengalami trauma dan ketakutan, apalagi ketika melihat pelaku Ambok Lang, seorang ASN Pemprov Jambi, dibebaskan dan kembali di lingkungan tempat tinggal mereka.

Menurut Zubaidah, jusu bicara Save our Sister, putusan bebas terhadap pelaku pencabulan tersebut justru akan semakin menyuburkan perilaku pencabulan dan kekerasan terhadap anak dan perempuan.

"Vonis bebas ini menambah beban luka psikologis korban pencabulan yang akan terekam dalam waktu lama," kata Zubaidah kepada Liputan6.com, usai aksi damai di Kejaksaan Tinggi Jambi.

Vonis bebas yang diberikan kepada pelaku pencabulan itu kata dia, menunjukan aparat hukum tidak memiliki perspektif perlindungan anak dalam menangani perkara. Aspek psikologis korban tidak menjadi pertimbangan, terlebih anak-anak yang menjadi korban dibiarkan merea tertekan dan ketakutan dalam menjalani proses persidangan.

"Korban pencabulan anak tanpa ada upaya difasilitasi bantuan hukum dan pendampingan psikologis," kata dia.

Kasi Penkum Kejati Jambi Lexy Fatharani (Kanan) saat mendengar penjelasan dari perwakiilan gerakan Save our Sister dan orangtua korban, Jumat (14/2/2020). Mereka akan mengaawal terus kasasi supaya pelaku pencabulan mendapatkan hukuman. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Disela aksi damai itu, perwakilan Save our Sister diterima pihak kejaksaan. Mereka berdiskusi dengan Kasi Penerangan Hukum Kejati Jambi, Lexy Fhatarani.

Lexy mengatakan mengatakan, jaksa telah mengirim memori kasasi kepada Mahkamah Agung atas vonis bebas yang dijatuhkan kepada Ambok Lang, pelaku pencabulan terhadap enam anak perempuan yang masih sekolah dasar.

Jaksa juga berjanji akan mengawal kasus ini secara maksimal. Karena, sebelumnya jaksa menuntut terdakwa dengan hukuman 6 tahun penjara. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jambi berkata lain dan menjatuhkan vonis bebas.

Upaya kasasi itu juga mendapat desakan dari kalangan mahasiswa, aktivitas perempuan di Jambi. Sebab, selama proses persidangan, korban dalam kondisi tertekan saat memberikan kesaksian di meja persidangan.

Zubaidah mengatakan, pihaknya bersama gerakan Save our Sister akan mengawasi dan mengawal memori kasasi yang diajukan jaksa. Memori kasasi juga harus dijabarkan soal penerapan hukum dan memasukan keterangan trauma korban.

Selain itu, soal penerapan hukum dalam kasus ini kata dia, dinilai telah salah karena saat di persidangan korban sempat diminta mereka ulang adegan pencabulan. Sehingga, perlu bagi aparat hukum untuk memeriksa penerapan hukum yang salah dan mengakui hak-hak korban yang dilanggar.

"Tentu ini menyalahi undang-undang perlindungan anak, kita juga melayangkan surat ke Komisi Yudisial dan Komisi Kejaksaan," kata Zubaidah.

Sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri Jambi memvonis bebas Ambok Lang, seorang terdakwa pencabulan anak di bawah umur.

Vonis bebas Ambok Lang tersebut tertuang dalam petikan putusan nomor 591/Pid.Sis/2019/PN.Jmb. Dalam surat itu tertera putusan ditentukan pada 13 Januari 2020 dan dibacakan pada 23 Januari 2020 oleh Yandri Roni sebagai hakim ketua, Oktafiatri Kusumaningsih dan Annisa Bridgestirana sebagai hakim anggota.

Dalam putusan hakim yang dipimpin Hakim Yandri Roni, Ambok Lang dibebaskan dan dinyatakan secara sah dan meyakinkan tidak bersalah seperti yang didakwa JPU melanggar pasal 82 ayat 2 UU Nomor 35 Tahun 2014.

Dalam salinan putusan terdakwa yang diterima Liputan6.com, Ambok Lang diketahui sehari-harinya bekerja sebagai ASN di Dinas Pendidikan Provinsi Jambi.

Selain bekerja di Dinkas Provinsi Jambi, ia juga bekerja sebagai guru ngaji. Sepulang dari kantor, Ambok Lang mengajar ngaji di tempat tinggalnya, untuk anak-anak usia sekolah dasar.

Ambok Lang dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan pencabulan terhadap anak di bawah umur. Dalam sidang yang digelar sebelumnya terungkap setidaknya ada lima korban dalam laporan itu. Dalam laporannya, Ambok Lang disebut-sebut mencabuli murid ngajinya.

Kasus pencabulan atau kekerasan terhadap perempuan dan anak perlu mendapat perhatian serius agar pelaku dihukum dengan hukuman berat. Sebab, banyak dari korban yang takut melaporkan ke pihak berwenang.

Namun disaat orangtua atau korban berani melaporkan kasus ini ke polisi dan sampai ke pengadilan, justru pelaku dibebaskan dan tidak mendapatkan hukuman yang sesuai sebagaimana korban telah mengalami trauma dari tindakan itu.

"Anak saya masih dibayangi ketakutan. Kondisi anak-anak tidak seperti biasa sekarang lebih banyak di dalam rumah karena melihat pelaku bebas dan masih berkeliaran di lingkungan komplek kami," kata NNG, salah seorang orang tua korban di lokasi aksi damai.


Sumber : Liputan6.com


Jumat, 24 Juli 2020

Legal support lacking for victims of childhood sexual abuse




A recent court ruling on child sexual abuse in Jambi province has exposed the shortcomings of Indonesian court procedures in dealing with the human impact of violence against children.As the number of cases involving the sexual abuse of children has continued to rise in recent years, experts and activists have pointed to the fact that the rights of child victims and witnesses have not been comprehensively addressed in Indonesian laws and regulations.The lack of standards for handling legal proceedings on sexual assault cases have raised concerns among critics, particularly as it relates to trauma and accusations of victimization.On Jan. 29, a 45-year-old civil servant from Simpang Tiga Sipin district in Jambi was acquitted on all criminal charges by the state court of Jambi. He was accused of sexually assaulting six children aged 9 to 12.The court decision came as a shock to the local co. Baca selengkapnya

Court suspends prison sentence for Jambi rape victim



In a rare decision, the Muara Bulian District Court in Jambi has decided to suspend the six-month prison sentence for a 15-year-old girl who was sent to prison for aborting her pregnancy after being raped by her own brother.

Derman Nababan, who heads the district court, said on Thursday that the decision was made on “humanitarian grounds”.

The verdict against the teenage rape victim has sparked criticism from human rights activists who believe her trial was flawed, and they have launched a major campaign demanding that the girl be released from prison.

More than 9,000 people have signed a petition demanding her release at change.org. The petition was initiated by the Jambi Women Consortium. 

Activists, citing a number of irregularities during the trial, have also reported the judges handling the case to the Judicial Commission for alleged ethics violations. The commission has said it would look into the report. 

Among the irregularities is the fact that both the victim and the perpetrator were represented by the same lawyer in two different cases: abortion and sexual assault.

The Jambi High Court said on Wednesday that they had summonsed the judges for questioning. “[We summonsed them] to listen to the explanation,” Jambi High Court spokesperson, Hasoloan Sianturi, said on Thursday.

The case came to light in early June when local residents found a dead, 8-month-old male fetus on an oil palm plantation in Pulau village, Muara Tembesi district. Based on the results of the investigation, the police found that the 15-year-old girl was the mother of the deceased baby.

The brother admitted that he had forced his own sister to have sex with him eight times since September last year. He threatened to harm her physically if she refused.

The girl was found guilty of abortion as stipulated under Article 77 of the Child Protection Law, while her brother was found guilty of both abortion and sexual assault as stipulated under Article 81 of the same law.

According to the Health Law, rape victims can legally abort their pregnancy within the first 40 days of conception. However, the victim in this case decided to terminate her pregnancy after she was eight months along.

Sumber The Jakarta Post


Kamis, 23 Juli 2020

Indonesia: rape victim wins release from abortion jail sentence




An Indonesian court has approved the legal appeal of a Sumatran teenager who was  and then jailed for having an illegal abortion.

The decision from the high court in Jambi, a province in east Sumatra, will clear the way for the 15-year-old girl to be released in coming days.

The court issued its decision on Monday, ruling that while the teenager did undergo an illegal abortion, the circumstances warranted her release.

“The panel of judges stated that [the defendant] was proven to have had an abortion but it was done under forced circumstances,” said Jambi high court spokesperson Hasoloan Sianturi.

Her lawyer, Damai Idianto, told the Guardian he was “very happy” his client had been cleared of the charges.

The case has incensed women’s and rights activists across Indonesia, who decried her original six-month jail term as a legal travesty.

Ida Zubaidah from Beranda Perempuan, a women’s organisation in Jambi, applauded the decision, but called for investigators to drop a case against the victim’s mother, who is being detained on suspicion that she helped her daughter illegally terminate the pregnancy.

 “We appreciate the solidarity and support in this case and that the judges have responded to that by giving justice to the victim,” said Zubaidah. “But now efforts must turn to trauma healing and efforts to release her mother.”

Abortion is illegal in Indonesia, with the exception of extraordinary cases such as rape, but even then it is only allowed at the earliest stage. Forensic tests on the foetus, which was discovered half buried near the victim’s house this May, revealed the teenager had been seven months pregnant.

The 15-year-old told the first court trial she had given birth alone in her room after drinking a herbal mixture of turmeric and salt to treat her stomach pains.

Identified only by her initials in the local press, she was initially jailed in the same prison as her brother, who was sentenced to two years for sexually assaulting a minor. She was moved to a safe house following the outcry over her case.

As of Tuesday the teenager was still in the safe house, where she was receiving psychological assistance and Koranic instruction. Following the court’s decision, women’s activists are working with social services to arrange for her to remain in the city and continue her high school education.

Helfi Rachmawati, from the consortium of women’s NGOs in Jambi, said the teenager was unwilling to return to her small village, several hours from Jambi city. She was suffering from trauma and depression, and anxious about being separated from her mother.


Sumber : TheGuardian


Minggu, 12 Juli 2020

WA Bebas Dari Tuntutan Hukum

SAVE OUR SISTER’S Unjuk Rasa didepan KEJATI, Desak MA tolak Kasasi yang diajukan oleh JPU Kejaksan Muaro Bulian (7/9/2018)


Pers Release

Penghukuman terhadap WA,  Anak umur 15 tahun yang diputus bersalah karena melakukan  aborsi hasil perkosaan kakak kandungnya sudah berakhir. Berdasarkan pemberitaan Detik.com,  Mahkamah Agung Menolak  Kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Muaro Bulian.

Penghentian Perkara hukuman terhadap WA  tersebut disambut gembira oleh Save Our Sister’s.“ Keputusan Mahkamah Agung  tersebut memperkuat keyakinan perjuangan menuntut keadilan Bagi korban Perkosaan .” Ungkap Zubaidah, Direktur Beranda Perempuan.

Zubaidah Selaku juru bicara Save Our Sister’s juga menambahkan bahwa Keputusan bebas adalah keharusan atas posisi kasus yang dihadapi WA, Walaupun secara hukum WA  telah bebas, tidak serta merta mencabut hukuman sosial yang sudah dia tanggung hingga kini. Ini menjadi tanggungjawab semua pihak untuk mendukung pemulihan hidup  bagi WA”

Kami Berharap ini menjadi pelajaran berharga bagi penegak hukum untuk meningkatkan perspektif perlindungan terhadap anak perempuan dalam peradilan di Jambi.

Error 404

The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.

Go to Homepage