Kritik atas Tuntutan 15 Tahun Penjara Terhadap YSA, Jangan Hukum Korban Kekerasan Seksual !
Rabu (20/09/2023) LBH ARA, LBH BERINGIN, YLBH PADANG, BERANDA PEREMPUAN
Senin
18 September 2023 Jaksa Penuntut Umum membacakan tuntutan 15 tahun penjara terhadap Yunita Sari Anggraini. Perempuan
berumur 21 tahun ini diancam
pidana pasal 82 ayat (2) UU tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi undang-undang jo pasal 65 ayat 1 KUHP
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
"melakukan persetubuhan yang
dilakukan secara berlanjut
dan terhadap beberapa
orang anak.
Tuntutan ini merupakan praktik pelanggaran bagi pemenuhan hak atas peradilan yang adil (fair trail) bagi YSA sebagai perempuan korban kekerasan seksual. Sejak awal, aparat hukum melanggar prinsip asas praduga tak bersalah dengan mengabaikan laporan YSA yang mengaku dirinya sebagai korban ditengah ramainya pemberitaan media yang menarasikan YSA sebagai pelaku pencabulan terhadap 17 anak.
Laporan YSA ditulis dalam bentuk pengaduan Masyarakat yang tidak memiliki nomor register (selanjutnya dapat dibaca dalam Perpol Nomor 09 Tahun 2018) tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan bukan administrasi untuk melakukan penegakan hukum pidana. Pelaporan tindak pidana oleh YSA diterima oleh Polresta Jambi tidak sesuai dengan Pasal 1 angka 24 KUHAP, sementara laporan orang tua anak-anak yang diterima laporannya pada hari itu sebagaimana LP nomor: LP/B- 401/II/2023/SPKT/Polda Jambi.
Kepada Pendamping YSA menuturkan ia samasekali tidak diberi kesempatan untuk berbicara menungkapkan peristiwa kekerasan yang menimpanya. Aparata Penegak Hukum (APH) Justru melakukan victim blaming terhadap YSA. Hingga kini YSA ditetapkan sebagai terdakwa dan menjadi penghuni Lapas kerap mendapatkan stigma dan rentan konflik dengan sesama penguni Lapas.
Selain itu, APH tidak cermat dalam menguji pembuktian. Dalam konferensi Pers Polresta Jambi mengatakan penutupan kasus terhadap laporan YSA dengan alasan Tidak adanya tanda-tanda kekerasan didiri YSA, Visum yang dijalani oleh YSA adalah bentuk YSA mencoba melukai dirinya sendiri. Ini tidaklah patut dibenarkan karena tidak pernah diungkapkannya data yang bisa menunjukkan DNA pelaku pencakaran hanya sebatas keterangan yang tidak diketahui asalnya dari siapa
Klaim mengenai visum vagina yang tidak menemukan cairan sperma juga adalah bentuk terlambatnya Visum Vagina dilakukan, keterangan mengenai pengakuan anak yang melihat dan menyaksikan YSA dipegang-pegang dan sempat minta tolong dikonter kembali keterangannya dengan BAP kedua yang mengatakan anak tersebut diajarkan, hal ini telah terbantahkan dipersidangan, anak yang melihat dan menyaksikan dengan tegas mengatakan hal yang sama didepan persidangan dan tidak mengetahui isi dari BAP keduanya.
Pentingnya Kehadiran UU nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menjadi jawaban untuk kasus-kasus kekerasan seksual yang seringnya terjadi di tempat tertutup dan tersembunyi serta minimnya pembuktian, dalam konteks pembuktian satu keterangan korban ditambah dengan bukti atau keretangan lain dapat membawa seseorang untuk bisa didakwa didepan persidangan.
Jaksa harus mengungkap kasus dan mendapatkan fakta persidangan yang tidak diskriminatif dan memastikan tidak memperparah luka YSA sebagai korban kekerasan seksual sesuai dengan dengan amanat Pedoman Kejaksaan No.1 Tahun 2021 tentang Akses Keadilan bagi Perempuan dan Anak dalam Penanganan Pidana.
Aparat hukum harus cermat dan dapat mempertimbangkan keterangan 3 ahli yang sudah dihadirkan dalam persidangan untuk meringankan terdakwa yaitu ahli psikologi Forensik Nathanael Eldanus J. Sumampouw M.Psi., M.Sc, menuturkan mengenai bagaimana mendapatkan keterangan yang kredibel.
Diantaranya pertama, keluar secara spontan/bagaimana suatu keterangan pertama
kali muncul. kedua mengevaluasi metode yaitu bagaimana
mendapatkan keterangan dari
metode atau teknik bertanya yang tepat dan tidak dalam konteks mensugestif, misalnya melemparkan pertanyaan tertutup yang hanya membutuhkan jawaban
iya atau tidak saja. ketiga mendapatkan keterangan secara verbal dengan melakukan analisa statement
dengan basis fakta atau data lainnya. Selain
itu juga ia menjelaskan terkait bagaimana psikologis korban kekerasan seksual
juga bagaimana psikologis pelaku kekerasan seksual.
Ahli kedua yaitu Yuniyanti Chuzaifah dimandatkan dari Komnas Perempuan yang sebelumnya
telah melakukan penelusuran kasus dan mendokumentasikan kasus YSA. ia meyampaikan temuannya “Seharusnya YSA hadir disini
sebagai korban, bukan sebagai Terdakwa, YSA mengalami Diskriminasi, Stigma dan relasi
kuasa yang mempengaruhi dan berperan besar sehingga YSA menjadi terdakwa,
YSA
Sudah di Reviktimisasi berulang-ulang, Yuni juga menyampaikan anak-anak sebenarnya juga adalah korban dari kondisi
sosial yang tidak memberikan pemahaman
tentang seksualitas dengan benar, sehingga
potensi anak-anak menjadi
pelaku kekerasan seksual
kemudian bisa terjadi.
Selanjutnya pada 4 September
pakar seksologi dan kesehatan reproduksi Fakultas Kedokteran UGM Dr. Dra Budi Wahyuni MM. MA juga memberikan pandangannya didepan pengadilan bagaimana
jahatnya system patriakis yang memilih
YSA menjadi kambing hitam dalam
permasalahan ini, YSA adalah perempuan yang memiliki bobot badan hanya
40 kg, sedang memiliki anak yang sedang
menyusui, dimana ibu yang menyusui memiliki sensitifitas yang tinggi, hasrat seksual yang cenderung akan menurun dari biasanya.
Dia menyebutkan perempuan memiliki vagina yang bisa kapan saja dimasuki dan memberikan respon atas itu, tuduhan mengenai
perempuan menikmati seks karna mengeluarkan cairan tidaklah patut
dianggap menjadi alasan
pembenar kekerasan seksual terjadi terhadapnya. Sedangkan
laki-laki jika dihadapkan dalam keadaan takut maka tidak akan mampu penetrasi
atau ereksi.
Relasi Kuasa Anak laki-laki secara
berkelompok
Relasi
kuasa yang sebenarnya tidak ada di diri YSA yang merupakan pendatang, miskin,
dan perempuan yang sudah powerless, YSA
adalah korban kekerasan beruntun dan
berulang dimana ketiadaan Negara untuk melindungi hak korban kekerasan
seksual dibangku sekolah
yang berimplikasi juga terputusnya hak pendidikan terhadap
YSA.
Dalam fakta Persidangan pada tanggal 20 Juli 2023 Jaksa Penuntut
Umum menghadirkan 13 orang saksi orang tua dan anak sekaligus untuk
diperiksa didepan persidangan, Pendamping Hukum YSA
keberatan untuk saksi diperiksa sekaligus, sehingga
pada tanggal 20 Juli 2023 hanya diperiksa satu saksi Pelapor dan satu orang anak, dan ditemukan fakta
persidangan bahwasannya anak dengan tegas menolak adanya diberikan tontonan
video porno, anak juga menolak
adanya diimingi ataupun
diberikan bermain Play Station gratis, ataupun diberikan uang, anak juga menyebutkan mengetahui dengan
sendirinya kode-kode tentang ajakan untuk seksualitas
Relasi
kuasa yang paling memungkinkan yaitu Relasi Kuasa delapan orang anak yang dilindungi oleh RT sekaligus orang
tua dan masyarakat yang tidak terima anaknya
dituduh sebagai pelaku pemerkosa, dua orang
anak yang merupakan
ponakan suami dari YSA yang membuat situasi YSA semakin tak berdaya
karena adanya dorongan dan tekanan
dari mertua, relasi kuasa masyarakat sekitar serta peran RT yang memiliki akses ke media untuk memviralkan sesuatu
mendominasi sehingga bisa membalikkan fakta dan situasi.
Beberapa
anak perempuan yang dihadirkan sebagai korban terkait Pompa ASI sebagai
alat pelecehan juga dihadirkan, namun sebagain besar diantaranya menyebutkan menggunakan pompa ASI dengan
inisiatif sendiri dan tidak ada diajarkan
langsung oleh YSA, atas tuduhan tersebut JPU tidak ada menghadirkan barang bukti
mengenai keberadaan pompa ASI yang
dituduhkan menjadi alat pelecehan seksual
tersebut.
Atas situasi
ini kami pendamping menuntut agar majelis
hakim nanti dapat memberikan
putusan yang adil dan tidak memenjara korban kekerasan seksual. jikapun
hakim ragu sudah seharusnya YSA diputus Bebas, karena lebih baik melepaskan 1000 orang bersalah,
daripada harus menghukum 1 orang tidak bersalah
CP. Pendamping
Alendra (+62 852-6611-2001) PH YSA
Decthree Ranti Putri (082132522017) Advokat Publik/PH YSA
Zubaidah (081366399190) Pendamping
#JanganPenjarakanKorban #KekerasanSeksual