Bunda Ria, seperti itulah sekarang namaku dikenal oleh
masyarakat di daerahku. Sejak adanya Paud Embun Pagi yang didirikan dari
inisiatif ibu-ibu dan swadaya masyarakat, aku menjadi salah satu pengajar di
paud tersebut. Paud yang dilaksanakan setiap pukul 15.00-17.00 yang 3 kali dalam
seminggunya. Meskipun aku lulusan SMP dan dengan berbekalkan pengetahuan yang
seadanya, aku berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anak paud tersebut.
Sore itu, bersama Sarah buah hati kecilku, kutelusuri jalan
tanah yang basah akibat hujan tadi pagi hingga membuat kaki berlumuran tanah.
Ku sapa ibu-ibu yang sedang memetik cabai, menyiram selada, membersihkan rumput
yang mengganggu pertumbuhan sayuran di sepanjang jalan menuju paud. Akhirnya
kami tiba di paud, “sarah, cuci kaki dulu” kataku mengajak sarah mencuci kaki
dirumah tetangga. Ku masuki ruangan yang berukuran 60 m2, beratapkan daun
pandan, beralaskan tikar dan berdindingkan kayu yang hanya sebatas pinggang
orang dewasa tak menyurutkan semangatku dan semangat anak-anak. Anak-anak telah
menungguku untuk dapat bermain, bernyanyi, bercerita sekaligus belajar.
“Assalamu ‘alaikum teman-teman” sapaku mengawali pertemuan sore ini.
“Wa’alaikum salam bunda” sapa mereka. Langsung saja kuajak anak-anak bernyanyi,
kuajarkan mereka nyanyian yang mengenalkan sebagian anggota badan.
“Bunda punya lagu baru. Mau dengar?” kataku
“Mau bunda, mau bunda” jawab mereka dengan suara yang
kencang
“Tapi ada gerakannya, teman-teman harus ikuti bunda ya?”
(dan akupun mulai menyanyikan lagu tersebut):
“Kepala, pundak, lutut kaki, lutut kaki”
“Kepala, pundak, lutut kaki, lutut kaki”
“Mata, telinga, mulut, hidung dan pipi”
“Kepala, pundak, lutut kaki, lutut kaki”
(sambil memperagakan gerakan)
Senyum, tawa, dan keceriaan di wajah mereka membuat hati ini
sangat bahagia. Raut wajah yang tanpa beban itu terkadang meringankan beban
yang aku alami. Terkadang aq bertanya dalam kalbuku “kenapa saat kulihat
keceriaan diwajah mereka hati ini begitu tentram? Masalah seakan menjauh untuk
sejenak. Semoga keceriaan ini dapat selalu kulihat dan kurasakan”.
Seperti pada ibu-ibu umumnya, sebagai seorang istri aku juga
harus melakukan pekerjaan-pekerjaan domestik, mulai dari mencuci, masak,
menyapu, menyetrika, juga mempersiapkan kebutuhan untuk suami dan anak-anakku.
Namun saat ini pekerjaanku juga bertambah, karna selain sebagai seorang ibu
rumah tangga dan salah satu pengajar di paud aku juga membantu ibu-ibu dalam
memperjuangkan legalitas untuk paud Embun Pagi. Bersama ibu-ibu setempat kami
belajar membuat proposal, belajar bagaimana bertemu dengan pejabat
pemerintahan. Ada banyak kegiatan yang aku lakukan diluar rumah, seperti
mengikuti rapat, diskusi dan kegiatan lainnya
Suatu ketika aku dan suamiku berselisih faham karena
kegiatanku tersebut. Suamiku mengkhawatirkan kegiatanku diluar rumah dapat
mengakibatkan pekerjaan-pekerjaan domestik menjadi terbengkalai. Suamiku yang
bekerja di gudang the coca-cola company hanya mengetahui jika aku sering keluar
rumah tanpa tahu apa yang selama ini aku lakukan. Dengan perlahan dan
sejelas-jelanya aku coba tuk jelaskan kepada suamiku bahwa selain mengajar aku
juga ikut membantu proses pendirian paud secara resmi. Aku bersyukur akhirnya
suamiku dapat mengerti dengan apa yang aku lakukan, karena salama ini dia tidak
melihat langsung apa yang terjadi sebenarnya. Saat itu tak banyak yang ia
katakan padaku, ia hanya mengatakan “ aku paham dan mengerti dengan kegiatanmu,
keinginanmu dan ibu-ibu untuk memajukan daerah ini, tapi aku harap ibu
(panggilan untuk anak-anakku) bisa sesuaikan kegiatan ibu diluar dengan
kegiatan dirumah. Jangan sampai rumah dan anak-anak kita terbengkalai akibat
seringnya ibu diluar. Anak-anak masih sangat butuh perhatian dan kasih
sayangmu. Jangan sampai mereka kehilangan sosok ibu yang selama ini mereka
banggakan, yang selalu ada disaat mereka butuhkan. Selesaikanlah segala urusan
yang ada di rumah, lalu silahkan ibu lakukan kegiatan untuk memajukan paud ini.
Dan jika bisa rencanakanlah diskusi dengan sebaik-baiknya sehingga ibu tidak
terlalu sering ada diluar rumah”. Mendengar kata-kata tersebut aku hanya bisa
diam dan berkata “ trimakasih Yah, ayah sudah mengertikan kegiatan dan
keinginan ibu untuk mengajar di paud, karena buat ibu megajar dipaud juga
mengajarkan anak kita”.
Budaya patriarki yang selama ini melekat dalam kehidupan
masyarakat Indonesia masih belum terlepas secara seutuhnya. Sosok laki-laki
yang sebagai kepala rumah tangga menjadi senjata pamungkas untuk dapat
mengekang isteri dan anak-anak sesuai keinginannya, mulai dari tidak diizinkannya
sang isteri melakukan kegiatan diluar rumah, berpolitik, bersosial dengan
masyarakat. Padahal tidak semua hal yang dilakukan diluar rumah merupakan hal
yang negative, seperti bergosip, hura-hura dan lain sebagainya. Masih banyak
kegiatan ibu-ibu diluar rumah yang bersifat positif. Mulai dari membangun
kemajuan bagi daerahya sendiri baik dalam bidang pendidikan, ekonomi, social,
kultur, dan bahkan politik.