Catatan harian ini tumbuh bersama janin dirahim ku.
Minggu ke 8
Sore. Pukul 16.68. Hujan yang kian menderas sore ini. Aku
duduk diberanda rumah. Angin dingin meresap di pori-pori kulit ku. Ku
merapatkan jacket cardigan. Sambil mengelus elus perut.Sekarang Aku tidak
sendiri. Ada kau disana. Aku meyambut hidupmu. Bukan dimulai saat kau lahir
nanti, tapi dimulai detik ini ketika dokter meyatakan keberadaan mu diruang
paling agung bernama rahim. Welcome my baby..
Minggu ke 12
Pagi hari yang hangat. “Nak, apa kabar kamu didalam
sana?” Aku ibumu ingin bercakap-cakap. Tentang kebersamaan kita dalam satu
tubuh. Rasanya kita semakin erat setelah melalui satu bulan morning sickness.
Apa yang ibu makan tak lagi membuat ibu mual dan ingin muntah-muntah. Anak ku
sayang…ini kehamilan ibu kelima, tapi ibu tetap berdebar-debar menunggu
perjumpaan kita nanti. Love you sayang.
Minggu ke 22
Selasa dini hari. ibu periksa kandungan ke rumah sakit.
Ditemani Tiar kakak mu tertua. Kami berdua melihatmu melalui Ultrasonografi.
Tampak tangan, kaki, kepalamu mulai terbentuk jelas.
“Selamat ya Ibu! Bayi ibu sehat. Dan kelamin bayi tampak
seperti buah biji kopi. Insyallah jenis kelaminnya perempuan.” Kata dokter
disampingku.
Seketika aku murung. Dibenak ku teringat kata-kata
ayahmu. Ia sangat menginginkan anak laki-laki. Maka sampai kehamilan ke lima
ini. Ayahmu tidak memperolehkan ibu Ber-KB sampai keinginan itu terwujud.
“ Loh, kenapa kok raut muka ibu sedih seperti itu?” ibu
harus tetap bahagia agar energi positif terpancar sampai ke janin.
“ kalau ibu ingin anak laki-laki nanti bisa coba lagi!”
kata dokter tersenyum tipis menyudahi konsultasiku diruang Kandungan.
Minggu Ke 26.
Rabu malam. sejatinya ibu teramat bahagia. mengetahui
kondisi mu sehat sempurna. Rasanya berbinar binar menghitung waktu kelahiran
mu. Aku seringkali melamunkan paras cantik mu bersanding dengan keempat kakak
perempuan mu. Tiar, Hotma, Sondang dan Pasu.
Ibu berdoa agar ayah melupakan keinginan itu, ayahmu
teramat keras dengan tradisi batak . Katanya anak perempuan tidak pernah
dicatat dalam silsilah keluarga, bahkan tak mewariskan apapun di keluarga. anak
laki-laki lebih kuat. Maka ia pewaris keluarga. Tapi ibu berharap semua bisa
berubah nak, karena itu tradisi yang telah banyak hilang tergerus waktu.
Ibu memberanikan diri malam ini, berbagi anugrah
kehamilan bersama ayah. Sebelum ayah berangkat tidur, ibu dengan hati yang
lapang menceritakan keadaan dan jenis kelamin mu pada ayah.
“Ayah..pasti anak kita cantik, hidungnya mancung seperti
ayah, kira-kira kita beri nama siapa ya putri kita!”
Namun Bukanlah sebuah jawaban yang ibu dapat, justru raut
kekecewaan terbit diwajah ayahmu.
“perempuan lagi, perempuan Lagi. Katanya ketus. “ Aku
butuh anak laki-laki untuk meneruskan cita-citaku!” jawab ayah sambil beranjak
dari posisi baring. Bergegas meninggalkan ibu yang terkulai lemas di tempat
tidur.
Dada ku seketika sesak, bulir-bulir air turun di sudut
mata, pilu membayangkan sebentar lagi, ibu akan dimadu. Sama persis dengan
nasib teman ku si minah yang dimadu, karena tidak memiliki anak berjenis
laki-laki. ia harus rela berkali kali hamil.
Keinginan minah memiliki anak laki-laki mampu melupakan
peristiwa kesakitan yang hampir merenguk nyawanya. Bagaimana mungkin memiliki
anak laki-laki mampu melengkapi, kesempurnaan sebagai ayah. Sedangkan anak
perempuan tidak bisa.
Minggu ke 29
Bulan ke bulan Perut ibu semakin terasa sesak. Maafkan
ibu nak! Ibu tak ingin kehilangan ayahmu. Semenjak tahu jenis kelamin mu
perempuan. Ibu berjanji untuk tidak check ke dokter lagi. Ibu akan sibuk
menjalankan ritual dari orang orang yang telah kenyang makan asam garam untuk
melahirkan anak laki-laki.
Ibu disarankan lebih banyak makan daging kambing, ibu
menaburi perut ibu dengan bedak bekas anak tetangga berjenis kelamin laki-laki.
Dan berbagai ritual dari yang masuk akal sampai diluar akal sehat ibu jalani.
Ibu tak peduli dengan ketidakpeduliaan ayahmu, semenjak
mengetahui kau perempuan. Ayahmu tak pernah lagi menanyakan apa yang ingin ibu
makan. Ayahmu tak pernah lagi mengelus perut ibu menjelang tidur. Ibu harus
sendiri bertarung agar kau itu laki-laki.
Minggu ke 36
Sampai hari ini tiba. Sebulan lewat dua hari. Ada rasa
sakit yang hebat, mengili-ngili tubuh, merayap kesendi-sendi menjalar ke
seluruh pori, sakit yang bermuara dari perut ibu yang besar.
Dua hari ibu di dera sakit, diminta untuk dirumah dan
bersikap tenang. Semua keluarga ayahmu tampak biasa saja, tidak terlihat panik
sekalipun, padahal demi tuhan. Aku merasakan sakit luar biasa hebat dari proses
persalinan ku terdahulu.
Memasuki hari ketiga pembukaan jalan lahir tak juga maju,
nenekmu hanya sedikit tidur, wajahnya sangat letih. Dia tak henti meyemangati
ibu untuk tidak meyerah, nenekmu terlihat sangat cemas, padahal ini bukan
pertama kali ia menemaniku.
keringat ibu mulai mengucur dipelipih merembes dikasur
yang menopang tubuh kepayahan“ “sekarang juga bawa kerumah sakit, anak ku tidak
biasanya seperti ini! Ayo cepat demi Tuhan bawa istrimu ke rumah sakit!.” nenek
meminta pada ayahmu.
Sudah tiga hari di siksa sakit tak seorangpun yang
bergegas membawa ku ke rumah sakit. Aku mulai merasakan kesulitan bernafas.
Lambat-lambat suara nenek serasa jauh ku dengar.
Kondisi ibu setengah sadar. Tiba-tiba ibu sudah terbaring
di bawah lampu bundar besar. Ibu sudah berada di ruang operasi ibu merasa perut
diaduk aduk lalu ditarik-tarik. Efek bius membuat rasa kebal pada sayatan di
perut. Ibu tengah berada diruang operasi. Lima orang berpakaian seragam biru
mengeliligi ibu.
Sekitar 30 menit. Suara tangis itu bayi pecah. “Ibu ini
anak ibu, cantik sekali. Luar biasa selama 20 tahun menjadi dokter baru kali
ini ada bayi tali pusar melilit dan hampir putus didalam!”
Ibu menitikkan air mata, menyaksikan paras mu nan elok,
seorang gadis mungil yang masih merah terbaring tak berdosa di samping ibu.
Tiba-tiba ibu kesulitan bernafas, dada ku sesak. Mata ku samar-samar dan semua
gelap sekeliling.
Oleh : Ida Zubaidah