Tangannya dengan tangkas membungkus nasi. Mintarsih
tengah bersiap untuk berangkat ke ladang.
Usianya sudah tak layak dikatakan muda. 60 tahun. Sangat
wajar jika warga sesama petani memanggilnya Nenek. Di lingkungannya Mintarsih
akrab dipanggil Nek Min.
Menyibak ranting-ranting dan dahan-dahan kayu mati adalah
aktivitas Nek Min saban hari. “Ya, ke ladang. Kalau nggak ke ladang mah ngapain
lagi”, tegasnya, (Jum’at, 14/11). Dialek sunda begitu melekat dalam setiap
bicara. Memang perannya di ladang tak sebesar Ki Antar, suaminya, Namun Nek Min
tak pernah tinggal diam kalau sudah menyangkut apa saja yang perlu ditanam.
Tak pelak, kebutuhan dapur Nek Min dan Ki Antar tertutupi
oleh aneka tanaman di ladang mereka. “Kalau untuk makan ya cukup”, tutur Nek
Min datar. Nek Min juga menanam kunyit dan jahe, biasanya untuk keperluan obat.
Pasangan senja ini merasakan berlipat-lipat lebih tenang hidup di hutan,
menjaga kebun yang kini tumbuh subur. Disini lah masa depan anak-anaknya
disandarkan.
Tapi situasi tak tiba-tiba damai dan lancar seperti
sekarang. Di pertengahan 2008 lalu, Nek Min dan Ki Antar datang ke hutan
belantara – memang dengan niat untuk bertani dan membangun kebun, karena hanya
itu keahlian yang mereka punya. Namun larangan mengancam bertubi-tubi. “Kalau
nggak inget masa depan anak-anak, ya nggak kuat”, ulasnya.
Hari-hari Nek Min selalu dalam bayang-bayang pengusiran
aparat. Suara ledakan pistol pun bukan lagi hal asing bagi Nek Min. Pernah di
satu ketika, Nek Min diberi nasihat oleh kerabat sesama pembuka hutan, agar Nek
Min dan Ki Antar sebaiknya keluar dulu dari hutan. Pasalnya, pihak perusahaan
konservasi – pengelola hutan ini – bersama aparat kepolisian akan menangkap
suami Nek Min, karena dicap sebagai provokator bagi warga lainnya.
Dengan berat hati Nek Min meninggalkan tebasan yang
ketika itu baru dimulai, demi keselamatan suaminya dari intaian aparat.
“Rasanya nggak ikhlas ninggalin ladang. Tapi demi Aki, ya terpaksa ngalah
dulu”, ingat Nek Min.
Tak lama setelah kepergian Nek Min dan Ki Antar, situasi
memang memanas. Sejumlah pimpinan serikat tani ditangkap karena melawan dan tak
mau diusir aparat dan perusahaan. Satu sisi Nek Min merasa tak enak hati dengan
warga lainnya. Namun tak tega melihat suaminya jika harus ikut diciduk aparat
mengingat usianya yang hampir menginjak 80 tahun.
Dua bulan berikutnya, Nek Min akhirnya kembali ke hutan,
tanpa sang suami. Nek Min menanam tanaman jangka pendek untuk sekedar keperluan
makan. Terlebih Nek Min tak ingin membiarkan lahannya menjadi belukar.
Setelah situasi mulai dingin, aparat mulai surut, Nek Min
memberi kabar ke Ki Antar agar segera menyusul.
Situasi aman sementara. Namun akar masalah masih tetap
menjalar. Nek Min dan petani lainnya bertani dan berkebun di kawasan hutan
negara. Kawasan yang tak dapat diakses secara bebas oleh petani. Artinya,
ancaman untuk Ki Antar, suami Nek Min belum padam sepenuhnya.
Oleh: Pauzan Fitrah (Anggota AGRA-Jambi)