![]() |
Dok. Beranda Perempuan |
Lorem ipsum eu usu assum liberavisse, ut munere praesent complectitur mea. Sit an option maiorum principes.
Januari 10, 2025
![]() |
Dok. Beranda Perempuan |
Desember 29, 2024
![]() |
Dok Beranda Perempuan |
Desember 26, 2024
"No merun, no food." This statement reflects Mek Nuraini's disappointment. She can no longer cultivate rice as she once did by using the traditional merun-burning method, due to the ban enforced by Jambi Provincial Regulation Number 2 of 2016, aimed at preventing and controlling forest and land fires
Mek Nuraini, a descendant of the Inner Sembilan Indigenous People, feels very afraid to continue opening up land using the merun practice. Her fear stems from frequent encounters with police patrols and security forces monitoring fires near their homes and gardens.
To provide for her family's food needs, Mek Nuraini had no choice but to collect oil palm bunches to earn money for rice. She worked 2-3 days to gather a sack of oil palm weighing around 30-50 kg, which she sold to collectors for Rp. 50,000-70,000. However, the earnings were insufficient to afford rice priced at Rp. 155,000 for 10 kilograms, forcing her to depend on her child's income from working on other people’s plantations
Before the burning ban, Mek Nuraini was able to harvest rice annually by planting local rice varieties such as puteh, rimbo rice, and talang rice, which thrived on burnt land. These rice varieties matured in about 7 months, yielding approximately 7-8 tons per hectare.
“To determine the right time to start burning, we plant banana trees. When the banana leaves grow to the size of a pot lid, it signals that the land is ready to be cleared and ploughed,” explained Mek Nuraini.
In the past, Indigenous women of the Batin Sembilan community traditionally practiced rice planting through shifting cultivation as a natural way to prevent pests. If farming continued on the same land in the next seasons, controlling the abundant growth of wild grass would become challenging. However, with the growing expansion of immigrant plantations and restrictions on company-owned areas, the practice of shifting cultivation has been abandoned.
Mek Nuraini, along with thousands of families from the Batin Sembilan indigenous community, cultivated rice and various food crops on their customary land, which they successfully reclaimed from Ecosystem Restoration Concession (ERC)
In 2015, an agreement was made to establish boundaries between ERC Corporation and the indigenous community, covering 15,000 hectares. However, to this day, no steps have been taken to finalize the boundaries or conduct field verification. Moreover, the community has yet to receive full recognition from the state.
"In history, merun has never caused large-scale fires. We have always protected nature, unlike the widespread fires on plantations and company-owned lands," said Mek Nuraini.
However, when a fire occurs, the community always bears the loss. If a fire happens within the concession area, the company receives compensation in the form of tree seedlings. On the other hand, when fires occur in the community's gardens, there is neglect, and the state provides no compensation. This conflict is bound to escalate, especially amid growing climate concerns framed as efforts to protect the area and save the climate.
Desember 12, 2024
COP29 yang fokus untuk membahas masalah pendanaan iklim agar dapat menuntut negara-negara kaya untuk memberikan setidaknya $5 triliun per tahun kepada negara-negara Selatan melalui mekanisme pendanaan publik untuk memperbaiki utang iklim yang dimiliki oleh negara-negara berkembang.
Beranda Perempuan bersama APWLD menolak mekanisme pendanaan iklim berupa hutang karena dapat semakin memperburuk situasi negara-negara miskin seperti indonesia. praktik hutang negara telah membebankan penderitaan lebih dalam dengan memangkas dana publik dan pajak
September 03, 2024
16 Agustus 2024
Beranda Perempuan dan Beranda Migran mengapresiasi langkah serius yang diambil oleh Polda Jambi dalam menetapkan 4 orang (SS, SW, RA dan Y) dari Universitas Jambi sebagai tersangka dalam kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) pada Selasa, 23 Agustus 2024. Ini merupakan pelanggaran lebih lanjut atas proses hukum terkait program magang bodong Ferienjob di Jerman yang melibatkan 1.047 mahasiswa dari 33 Universitas Indonesia.
Perkembangan langkah hukum ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam anggota melakukan pelanggaran dan ekspolitasi di dunia pendidikan. Langkah ini merupakan harapan cerah bagi para pelajar korban dalam memperjuangkan hak-hak perlindungan dan restitusi. Kami akan selalu mendikung langkah pemerintah dalam mengawal Universitas dalam menjalankan mandapat menciptakan keberlangsungan pendidikan yang aman dan memberdayakan siswa; bukan program eksploitatif mahasiswa yang bersembunyi di sistem pendidikan dan mengatasnamakan bagian dari Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Penipuan dan program eksploitatif ini sangat merugikan kondisi finansial, fisik dan psikis siswa korban. Oleh karena itu, kami, mendorong pemerintah untuk juga mengupayakan menyediakan hak-hak korban atas restitusi dan perlindungan.
Dalam penanganan kasus ini, Beranda Perempuan dan Beranda Migran tidak hanya memandang kasus ini sebagai TPPO semata. Ini merupakan masalah struktural yang terjadi di sistem pendidikan Indonesia yang membuat siswa menjadi sasaran empuk magang. Program magang Ferienjob ini merupakan cerminan bahwa masih banyak program di bawah sistem pendidikan Indonesia yang menawarkan pembelajaran semu. Program pemagangan seharusnya memberikan kesempatan bagi pelajar untuk mengasah keterampilan dan mempersiapkan pelajar untuk terjun ke dunia kerja. Namun, program pemagangan ini justru menjadikan mahasiswa sebagai tenaga kerja murah yang tidak mendapatkan perlindungan. Program pemagangan ini membuka celah melalui praktik-praktik kerja paksa untuk menyediakan kondisi kuliah dan eksploitasi. Ini merupakan panggilan kepada pihak terkait dalam pendidikan dan pemerintahan untuk melakukan investigasi dan tindakan serius.
Universitas Jambi (UNJA) merupakan salah satu universitas yang terlibat dalam program magang bodong Ferienjob ini memfasilitasi pemberangkatan 87 mahasiswa ke Jerman dalam periode Oktober 2023 – Desember 2023. Keberanian mahasiswa korban dalam menyuarakan kondisinya berhasil mendorong pihak Universitas Jambi untuk memberi tanggapan terkait kasus yang memuat secara secara secara virus. Kami mengapresiasi sikap terbuka Universitas Jambi dengan menyelenggarakan audiensi bersama beberapa mahasiswa korban peserta program Ferienjob.
Kami juga mengapresiasi sikap terbuka Universitas Jambi dalam mengakui keterlibatan universitas dengan pihak terkait seperti SH (salah satu guru besar di UNJA), PT CV-Gen dan PT SHB (keduanya merupakan agen yang memfasilitasi rekrutmen dan pengiriman mahasiswa peserta program magang pekerjaan Ferienjob); sikap tegas persetujuan kerjasama (MoU) antara Universitas Jambi dan PT SHB; dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan. Langkah koorperatif yang di ambil Universitas Jambi ini merupakan sebuah inisiasi baik untuk membersihkan segala bentuk praktik pelanggaran dan keculasan yang dilakukan oleh para oknum di lingkungan kampus dan harus di tindaklanjuti untuk menjaga nama baik dan keamanan kampus.
Sesuai dengan Keterangan Pers Universitas Jambi terkait Program Magang Internasional Ferionjob di Jerman yang dirilis pada 26 Maret 2024, kami Beranda Perempuan dan Beranda Migran mengingatkan kembali komitmen Universitas Jambi untuk menggambarkan mahasiswa akomodatif dan pro-korban dengan memberikan bantuan/pendamping dalam bentuk apapun, salah satunya membentuk Posko Layanan dan memberikan trauma healing kepada siswa korban. Kami juga mendorong Universitas Jambi untuk memberikan perlindungan dan menjamin keamanan dan keselamtaan mahasiswa korban.
Mahasiswa korban diharuskan menanggung seluruh biaya mulai dari keberangkatan dan pemulangan bahkan biaya selama bekerja di Jerman seperti akomodasi, makanan, transportasi dan komunikasi. Dari kasus-kasus yang ditangani Beranda Perempuan dan Beranda Migran, para pelajar yang tidak mampu akhirnya diberi dana talangan oleh PT SHB. Pembayaran dilakukan dengan cara dicicil upah yang mereka terima di Jerman. Namun dari penemuan kami, beberapa biaya seperti tiket pesawat yang dibuat dua kali lipat lebih mahal dari harga normal. Akhirnya beberapa pelajar yang sudah pulang ke Indonesia masih terjebak hutang karena tidak mampu melunasinya.
Sejak November 2023, beberapa korban yang diampingi Beranda Perempuan mengaku telah mendapatkan tiga kali pesan ancaman dari SW untuk melunasi biaya hutangnya. SW juga mengancam akan memperparah status kemahasiswaan mereka jika tidak segera melunasi utangnya. Penagihan ini telah menimbulkan tekanan, ketakutan dan trauma bagi korban. Mereka khawatir status pelajar dan tugas akademiknya di kampus dapat terganggu karena hal ini.
Munculnya keberanian korban untuk bersuara dalam menuntut kembali haknya seharusnya sudah mendapat dukungan penuh dari semua pihak. Keberanian mereka telah berhasil mengungkap sindikat yang dapat merugikan mahasiswa dan institusi pendidikan. Pemerintah dan universitas harus memberikan jaminan hak atas kebebasan bersuara untuk menyampaikan dan mengungkapkan kebenaran sesuai dengan nilai intelektualitas dan keilmiahan yang dipegang teguh sebagai institusi pendidikan.
Lebih dari itu, kami percaya bahwa keadilan hanya dapat terwujud sepenuhnya ketika pelaku hukum dan korban mendapatkan keadilan yang mereka butuhkan. Untuk itu, kami tetap menuntut kepada pemerintah Indonesia dan pihak kampus Universitas Jambi untuk :
1.
Menghapuskan segala bentuk biaya hutang, menghentikan hutang-hutang dan ancaman terhadap korban
2.
Memberikan kompensasi atau restitusi bagi korban dan keluarganya
3.
Menyediakan layanan konseling dan pendampingan Hukum yang mudah diakses oleh korban
4.
Menjamin keamanan dan keselamatan bagi semua korban
5.
Meninjau kembali sistem pendidikan yang membuka peluang eksploitasi terhadap siswa
=======
Narahubung:
Beranda Perempuan, Zubaidah (0813 6639 9190)
Beranda Migran, Hanindha Kristy (0822 2384 5500)
Januari 10, 2024
Kami meminta kasus ini selesai, jangan janji-janjian saja,
macam kaset-kaset baru, tapi lagu-lagunya lama” (Asimati, 45 tahun)
Kutipan diatas merupakan ungkapan kekesalan yang disampaikan oleh Asmiati, seorang perempuan petani dari desa Sogo Kecamatan Kumpeh kabupaten Batanghari yang berhasil diwawancari oleh tim Beranda Perempuan. luapan kekesalan tersebut sejatinya menunjukan pertarungan Masyarakat Desa Sogo dengan Pihak perusahaan PT Bukit Bintang Sawit (PT BBS) yang terjadi cukup panjang dan belum menemukan titik terang.
Dalam pertarungan tersebut Masyarakat Sogo selalu mengalami kekalahan. ditandai semakin menurunnya akses dan manfaat dari atas lahan. Di masa lalu, pemenuhan kebutuhan pangan tercukupi dengan memungut hasil hutan dan melakukan aktivitas beumo atau lebih dikenal dengan berladang. Pada perkembangannya praktek tersebut mengalami penurunan Sejak PT BBS merampas lahan warga seluas 1000 hektar termasuk 108 hektar sawah yang selama ini mereka kelola.
Tidak hanya itu, Kehadiran PT BBS juga mengubah tutupan hutan yang selama ini menjadi resapan air. Sifat kelapa sawit yang tidak meyerap air hujan ketika musim penghujan dan meyerap candangan air bawah tanah ketika musim kemarau semakin memperparah kondisi banjir.
Menurut pengakuan warga sebelum adanya sawit, tinggi air mencapai 4 cm namun sekarang ketinggian air bisa mencapai 10 cm. Akibatnya produksi padi semakin menurun. jika biasanya dalam kondisi normal dengan mengarap lahan sekitar 1 hektar dapat menghasilkan 70 kaleng atau sekitar 7-8 kg namun jika terkena banjir bisa gagal panen.
Sejak hutan mereka dibabat untuk perkebunan sawit serangan hama seringkali terjadi pada tanaman padi, Serangan hama kepinding (Seekor serangga berwarna hitam dengan cangkang yang cukup keras),babi dan tikus. Hama tersebut mengakibatkan padi rusak dan mengering.Kondisi penurunan produksi padi telah merugikan 33,3 persen warga desa sogo yang mengantungkan hidupnya dengan berprofesi sebagai petani. Dampak yang lebih besar dirasakan lebih berat terhadap kelompok perempuan. karena sekitar 75 persen perempuan merupakan produsen pangan di desa. selain itu perempuan adalah pihak yang bertanggungjawab atas pemenuhan kebutuhan nutrisi bagi keluarga.
Mayoritas Perempuan memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang bibit lokal misalnya disebtu bibit ringgit. Mereka tetap mempertahankan penggunaan benih lokal tersebut dibandingkan dengan benih dari pemerintah yang biasa mereka sebut dengan sebutan benih 4 bulan karena hanya dalam waktu 4 bulan padi sudah bisa dipanen.
Hal ini dikarenakan bulir padi yang dihasilkan oleh benih lokal lebih besar dan memberikan hasil yang lebih banyak. Untuk mempertahankan Benih lokal mereka selalu sisihkan dari hasil panen yang akan dibibitkan pada saat musim tanam tiba.
Mereka menyisakan cukup banyak calon benih padi untuk mengantisipasi gagal panen yang biasanya disebabkan oleh banjir maupun hama. Rata-rata Masyrakat Sogo memiliki sistem peyimpanan beras paska panen untuk bertahan dalam waktu satu tahun. Jika ada sisa dari panen mereka juga menjual harga Rp 10.000/kg gabah kering atau kalau dijual dalam bentuk beras seharga Rp 12.000/kg. Menurut pengakuan warga setempat, yang bisa menjual hasil panen padi hanyalah petani yang mengusahakan padi dengan luasan yang cukup besar, minimal 2 ha.
Ketika hilangnya kedaulatan perempuan atas produksi tanaman padi, tentu saja berimbas pada kualitas tanaman dan jumlah produksi. Dalam kondisi persediaan beras terbatas biasanya perempuan lebih mendahulukan anak dan suami mereka. sehingga perempuan menjadi rentan kurang asupan sumber makanan yang cukup.
(Tulisan ini dirangkum dari studi singkat bersama Walhi)
Januari 07, 2024
Mek Impun, Perempuan dari suku batin 9 Pangkalan Ranjau. Ia memiliki keahlian mencari ikan dengan mengunakan teknik Nube atau meracuni ikan dengan mengunakan akar jenuh. Proses yang dilakukan dengan mengeluarkan getah dari akar jenuh dan dialirkan ke air sehingga membuat mata ikan menjadi pedih. Setelah itu, beberapa menit kemudian ikan akan terapung ke atas permukaan sungai. Mencari Ikan Jamak dilakukan bagi perempuan SAD batin 9 namun, pengetahuan dan praktik ini nyaris hilang seiring dengan semakin berkurangnya akar jenuh karena alih fungsi hutan menjadi tanaman monokultur
The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.
Go to Homepage
Social Footer