The Jakarta Post : SAVE OUR SISTERS ACTIVISTS HOLD RALLY IN FRONT OF THE JAMBI PROSECUTOR'S OFFICE ON JULY TO DEMAND THE RELEASE

Main Posts Background Image

Main Posts Background Image

Senin, 28 Juni 2021

The Jakarta Post : SAVE OUR SISTERS ACTIVISTS HOLD RALLY IN FRONT OF THE JAMBI PROSECUTOR'S OFFICE ON JULY TO DEMAND THE RELEASE

 


Oleh: Ida Zubaidah*

Usianya masih 15 tahun. Ia disiksa, diperkosa hingga delapan kali oleh kakak kandungnya. Tatap matanya nanar saat seorang jurnalis mengajaknya bicara. Gadis miskin dari Desa Pulau,  Kecamatan Muaratembesi, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi, ini berusaha tetap menyimpan luka trauma akibat kekerasan seksual yang dialaminya dalam diam.

Saya menemuinya di sebuah rumah aman di Kota Jambi, persis saat pemberitaan media nasional masih ramai mengecam penghukuman terhadap anak korban perkosaan ini.

Namun respon negatif dari berbagai kalangan terhadap putusan tersebut, tidak membuat para penegak hukum berhenti untuk menghukum. Pada 13 September lalu Jaksa Penuntut Umum  (JPU)  Kejaksaan Negeri (Kejari) Batanghari mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung (MA).

Pengajuan kasasi ini dilakukan setelah Majelis Hakim memutuskan membebaskan WA dari segala tuntutan hukum karena tindakan aborsi dilakukan WA dalam keadaan daya paksa. Putusan itu dibuat paska gencarnya aksi protes  terhadap hukuman pidana digelar oleh kalangan aktivis perempuan baik di dalam maupun di luatmr Provinsi Jambi.

Di tengah beban luka psikologis incest yang ditanggung WA, pengajuan kasasi itu terus berlangsung.  Alih-alih memeriksa pelanggaran hukum atas pemenuhan hak WA sebagai anak dan korban perkosaan, pengajuan kasasi hanya beralasan penghukuman yang jauh dari tuntutan.

Tindakan  aborsi adalah tindakan melanggar undang-undang perlindungan anak pasal 77A UU No, 33 Tahun 2002. Undang-Undang yang seharusnya melindunginya sebagai anak justru menghukumnya sebagai pelaku.

Penegak hukum sama sekali  tidak tertarik untuk menggali lebih jauh mengapa  peristiwa aborsi  itu terjadi. Penegak hukum hanya terpaku “tindakan apa” bukan "mengapa" lalu  membabi buta menghukum tanpa ampun.

Dalam kondisi sosial yang disingkirkan, bagaimana mungkin seorang anak berumur 15 tahun ini harus memilih untuk melahirkan anak dari hasil perkosaan kakak kandungnya di tengah dunia yang mengutuknya?

Bahkan setelah hukuman itu diselesaikan, tidak ada celah bagi  WA untuk menghilangkan jejak luka pada tubuhnya. Ia harus terus menerus  diseret oleh penghakiman orang-orang yang menganggapnya tetap bersalah.

Kenapa ia mengalami sembilan kali pemerkosaan tetapi tidak melapor? Apa arti dari sembilan kali itu? Letak pemaksaannya di mana? Pertanyaan-pertanyaan ini terlontar dari mulut seorang penegak hukum di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi ketika perwakilan Save Our Sister's (SOS), sebuah lembaga non pemerintah yang memperhatikan hak-hak dasar perempuan, diterima berdialog paska berunjuk rasa di sana.

Pertanyaan-pertanyaan ini menyiratkan bahwa tuduhan perkosaan yang dialami oleh WA tidak memiliki unsur tekanan. Ini membuktikan bahwa aparat hukum gagal memahami kejadian, dan tidak ada consent pada persetubuhan yang terjadi terhadap anak. Sehingga, ada atau tidak ada persetubuhan tidak perlu dibuktikan.  

Sungguh sebenarnya kita sedang menyaksikan positivisme hukum membunuh ramai-ramai hidup seorang WA. Hukum harus ditegakkan. Hitam dan putih. Ia tidak dibiarkan untuk menjadi manusia baru. Ia dibiarkan menanggung derita seumur hidup.

Soal Struktural

Peristiwa yang menimpa WA tidak cukup hanya dipandang sebagai persoalan pantas atau tidak pantasnya tindakan aborsi. Apa yang terjadi dengan WA dan keluarganya harus dipandang sebagai  cerminan dari buruknya  kualitas hidup anak perempuan Indonesia di tengah  situasi sosial ekonomi yang juga buruk.

Dokumen "Child poverty and social protection” dari UNICEF menjelaskan bahwa kemiskinan telah meyebabkan anak-anak teresiko bahaya pelecehan seksual. Dokumen itu juga menjelaskan bahwa anak yang tinggal di rumah tangga yang dikepalai oleh perempuan lebih beresiko untuk mengalami kemiskinan ekstrim daripada mereka yang dikepalai laki-laki.

WA, terlahir dan hidup di Desa Pulau, Kabupaten Batanghari. Menurut data Badan Pusat Stastik  (BPS) Provinsi Jambi  tabel kemiskinan tahun 2015-2016, Kabupaten Batanghari bertengger pada posisi keempat dari 11 kabupaten/ kota yang ada di Jambi.

Secara turun temurun, perekonomian masyarakat Desa Pulau ditentukan oleh naik-turunnya harga komoditas karet. Sebagaimana berlaku di wilayah lain, kebijakan pemerintah tidak pernah memberikan dukungan serius  atas komoditas ini.

Harga karet di tingkat petani saat ini  berkisar antara Rp.4000  per Kg. Rata-rata petani karet menghabiskan waktu selama 8 hingga 10 jam per hari  untuk mengarap lahan seluas 2 hektar. Beban berat harus dipikul para petani karena alat-alat produksi yang digunakan masih tradisional.

Kenaikan harga seringkali tidak dinikmati petani karena produksi menurun,  jika pada musim hujan suplai berkurang petani tidak bisa menyadap sementara harga meningkat, sebaliknya bila kemarau panjang, pohon karet kekurangan suplai air produksi menurun karena kebun karet tidak ada sistem pengairan  dan harga meningkat

Begitulah situasi pekerjaan yang  harus dijalani AD (39), Ibu kandung WA.  Terlebih ia hanya tamatan SD, tentu tidak ada lapangan pekerjaan yang tersedia di Desa selain bertahan menjadi petani karet dengan pendapatan seadanya.

Hasil temuan Beranda Perempuan rata-rata perempuan Umur 20-40 tahun tersebar di kabupaten Jambi hanya mengeyam pendidikan SD dan SMP. Situasi ini meyebabkan mayoritas perempuan memilki keterbatasan dalam mengakses dunia kerja.

Sejak enam tahun bercerai dengan suaminya (PA) ia harus mengantikan peran suaminya sebagai pencari nafkah sekaligus menjalankan peran sebagai ibu untuk ketiga anaknya. Dapat dibayangkan bagaimana mungkin ia memiliki konsentrasi yang cukup untuk pengasuhan dan pendidikan MA, adik bungsu WA, AS Kakak kandung WA.

Nyaris hampir tiap hari AD, pergi ke kebun karet sejak pukul 07.00 WIB  hingga 17.00 WIB sementara WA dan AS pulang sekolah pukul pada 15.00 WIB. Hampir tdak terjadi sesi pembicaraan hangat antar anak dan ibu seperti yang terjadi laiaknya rumah tangga lainnya.

Tidak ada jalinan persaudaraan sekandung antara AS sebagai kakak dan WA sebagai adik  Hingga kemudian sang ibu tidak meyadari AS telah berubah menjadi monster yang melakukan perkosaan terhadap adik kandungnya sendiri.

Pembenahan

Apa yang dialami oleh WA dan keluarganya harusnya menjadi fakta penting bagi pembenahan penyelenggaraan pengaduan dan penanganan korban kekerasan seksual  di Provinsi Jambi. Terutama pada lembaga layanan  hukum yang  selama ini minim perspektif perlindungan bagi anak korban kekerasan seksual.

Selain itu, pengembangan fokus layanan yang tidak saling eksklusif dan dapat berevolusi lintas instansi pemerintah dapat dimulai dengan penekanan utama pada identifikasi keluarga-keluarga yang beresiko tinggi dengan profil desa yang menunjukan disorganisasi sosial yang tinggi.

Dalam sebuah studi tentang lingkungan yang kontras di Omaha, Nebraska, James Garbarino dan Deborah Sherman menemukan masyarakat dengan tingkat laporan kekerasan yang lebih tinggi kurang terintegrasi secara sosial.

Berbeda jika  dibandingkan dengan penduduk di komunitas kekerasan yang lebih rendah, tetangga mereka cenderung untuk memantau perilaku anak-anak karena mereka percaya itu adalah tanggungjawab mereka untuk melindungi anak-anak dari lingkungan yang berbahaya.

Hasil studi itu menjadi urgensi bagi peyelenggara layanan dan penanganan kasus untuk membangun pusat layanan berbasis komunitas. Dengan memahami norma yang membingkai apa yang orang tua dapat lihat sebagai cara yang tepat atau penting untuk berinteraksi dengan anak-anak mereka,  dan menerapkan standar kapan dan bagaimana orangtua harus mencari bantuan dari orang lain.

Caranya yakni dengan membangun  pusat layanan yang menyediakan beragam fasilitas umum. Misalnya pusat layanan lingkungan yang berlokasi di sekolah, dan penyediaan layanan bagi orangtua single parent dengan menawarkan beragam layanan. Sehingga keluarga memiliki akses rangkaian yang lebih kompherensif yang dapat secara simultan untuk mengatasi berbagai faktor resiko kekerasan seksual pada anak.

Layanan profesional ini tentu saja wajib difasilitasi oleh negara dengan  mengambil peran pengasuhan sebagai orangtua, terlebih bagi single parentuntuk melindungi anak dari kekerasan seksual sehingga orangtua dapat meningkatkan ekonomi, kesehatan mental sehingga akan mencegah terjadinya kasus incest terus berulang.

*Penulis adalah Direktur Beranda Perempuan, dan Juru Bicara Save Our Sister’s (SOS).


Error 404

The page you were looking for, could not be found. You may have typed the address incorrectly or you may have used an outdated link.

Go to Homepage