Latar belakang lahirnya orde baru
Lahirnya era orde baru dilatarbelakangi oleh runtuhnya orde
lama. Tepatnya pada saat runtuhnya kekuasaan Soekarno yang lalu digantikan oleh
Soeharto. Salah satu penyebab yang melatarbelakangi runtuhnya orde lama dan
lahirnya orde baru adalah keadaan keamanan dalam negri yang tidak kondusif pada
masa orde lama. Terlebih lagi karena adanya peristiwa pemberontakan G30S PKI.
Hal ini menyebabkan presiden Soekarno memberikan mandat kepada Soeharto untuk
melaksanakan kegiatan pengamanan di indonesia melalui surat perintah sebelas
maret atau Supersemar.
Jatuhnya rezimsoekarno telah membuat kekuasaan negara jatuh
ketangan reaksioner kanan yang dipimpin oleh oeharto dan naution. Sebagai
kekuasaan yang paling raksioner rezim Soeharto tidah terbantahkan lagi, karena
beberapa alasan.
Anti- demokrasi -> pengambil-alihan kekuasaan tidak
dengan cara demikrasi melaikan melalui kudeta.
Pro-imprialis -> rezim soeharto mengundang pihak asing
untuk memberikan pinjaman hutang dan melakukan investasi dengan janji keamanan
politik, tenaga kerja murah, bahan mentah dan kemudahan-kemudahan lainnya
Anti-rakyat -> pengambil-alihan tanah-tanah hasil
land-reform dan nasionaslisasi dan diserahkan kepada TNI dan kepada kapitalis
komprador, tuan tanah dan kapitalis birokrat.
Apa itu
Revolusi hijau
Revolusi hijau adalah sebutan tidak resmi yang dipakai untuk
menggambarkan perubahan fundamental dalam pemakaian teknologi budidaya
pertanian yang dimulai pada tahun 1950an-1980an dibanyak negara berkembang
terutama di asia. Dalam artian revolusi hijau adalah pertanian
green_revolution-400x284 dengan paket teknologi modern.
Akibatnya mulai muncul kebutuhan-kebutuhan yang memerlukan modal besar,
sehingga menimbulkan ketergantungan terhadap bantuan dan pinjaman luar negeri
baik dalam bentuk uang maupun barang modal.
Adapun yang melatarbelakangi revolusi hijau adalah masa orde
baru ditujukan untuk memaci peningkatan produksi pangan, karena kebutuhan
pangan yang meningkat dan mengurangi impor beras.
Revolusi hijau menimbulkan perubahan sosial, antara lain
dalam hal pengelolaan tanah, penggunaan bibit unggul, penggunaan pupuk kimia,
penggunaan sarana-sarana produksi dan pengaturan waktu panen. Dalam pelaksanaan
revolusi hijau, pemerintah melakukan pengendalian petani lewat konsep
sosial-ekonomipolitik demi berlangsungnya revolusi hijau. Sehingga dapat
dikontrol secara ketat dan sistemik. Sistem tersebut di buat dalam bentuk
kelembagaan dan perangkat birokrasi. Interpensi ini dilakuakan melalui
bimbingan massa ( BIMAS) dan penyuluhan dan dibuntuk kelembagaanseperti kelompok
tani, KUD dan sebagainya.
Dan ditambah lagi pada saat itu pemerintah melakukan subsidi
besar-besaran terhadap pengadaan pupuk dan pestisida. Jika menelisik, kita akan
banyak menemukan dampak akibat revolusi
hijau.
Dampak positif dari revolusi hijau adalah meningkatnya
produksi tanaman pangan terutama padi dan gandum sehingga kebutuhan karbohidrat
terpenuhi dan menjadikan negara indonesia yang sebelumnya pengimpor beras
menjadi negara dengan swasembada pangan. Jika ada dampak positif, maka kita akan
menemukan dampak negatif dari revolusi hijau.
Dampak negatif dilihat dari sisi ekonomi diantaranya
swasembada yang dicanangkan tidak berlangsung lama, terjadinya impor beras
besar-besaran untuk memenuhi kebutuhan pangan dan menyokong swasembada beras, ketergantungan
petani terhadap teknologi modern mengancam kesejahteraan para petani. Dampak
negatif dilihat dari sisi politik adalah karena program swasembada ini terjadi
pengontrolan petani melalui dibentuknya badan kelembagaan yang mendukung
revolusi hijau, seperti didirikannya KUD, dan lain sebagainya.
Dan jika dilihat dari sisi sosial begitu banyak dampak yang
timbul, diantaranya pengangguran semakin tinggi, merosotnya nilai tradisional,
norma saling membutuhkan atau gotong royong mulai menghilang, polarisasi
sosial, serta penurunan perempuan dipedesaan.
Lalu bagaimana kodisi perempuan dengan munculnya revolusi
hijau?
Jika telah dikatakan diata bahwa revolusi hijau menimbulkan
perebuhan sosial. Secara tradisional petani perempuan mempunyai peranan penting
baik manajemen maupun kerja fisik. Namun pembangunan telah gagal memperhatikan
nasib ataupun kepentingan perempuan. Partisispasi perempuan secara historis dan
tradisional telah dihancurkan oleh ppembangunan melalui program “revolusi
hijau”.
Jika sebelum modernisasi pertanian diperkenalkan ketengah
masyarakat pedesaan pola hhubungan antara laki-laki dan perempuan adalah
kesetaraan gender. Namun setelah modernisasi maka prespektif tersebut berubah
menjadi ketimpangan gender, dimana adanya dominasi dan subordinasi antara
laki-laki dan perempuan. Struktur keluarga berubah, dimana buruh perempuan yang
biasanya menumbuk padi sebagai penghasilan tambahan sekarang hanya tinggal
dirumah. Dampak yang paling mencolok terhadap perempuan diantaranya:
1. Akses
teknik pertanian modern, karena adanya nilai bahwa perempuan tidak mampu
menangani mesin pertanian
2. Mekanisme
dibidang pertanian yang telah menghapus peran ekonomi perempuan yang secara
tradisional
3. Marginalisasi perempuan
4. Mengukuhkan
aktivitas perempuan kepada pekerjaan domesti seperti menjadi ibu rumah tangga
dan mengurus anak.
Dampak yang paling mencolok yaitu meningkatnya angka pengangguran. Akibatnya terjadinya urbanisasi, banyak masyarakat desa pindah kekota dengan menjadi pekerja rumah tangga atau menjadi buruh murah di perusahaan. Karena kebijakan neoliberal pembanguanan mencabut domain pekerjaan perempuan miskin diganti dengan mesin, modal besar. Karena terjadi perampasan pekerjaan perempuan disawah membuat para perempuan menjadi buruh dilahan perkebunan dan bahkan itu menjadibudaya turun-temurun. Tidak ada jaminan keamaan (terjadinya pelecehan) bahkan ketika perempuan menjadi buruh harian lepas ditempatkan di wilayah yang tidak membutuhkan tenaga besar seperti tempat penyemaian, namun disitulan banyak racun dan pestisida yang berbahaya bagi perempuan. Bukan hanya tidak ada jaminan kesehatan dalam segi upah pun juga berbeda antara laki-laki dan perempuan atau bahkan jika seorang istri bekerja menjadi BHL maka gajinya tersebut diserahkan kepada suaminya.
Perempuan desa yang bergantung hidupnya pada sumber daya
alam kebanyakan menjadi korban dampak negatif pembangunan. Perempuan yang
tinggal di sekitar proyek industri besar seperti pertambangan dan instalasi
minyak atau gas alam menderita oleh punahnya atau rusaknya tanah dan sumber
daya alam, seperti hutan, air, sedangkan ganti rugi umumnya diberikan kepada
laki-laki.
Kemudian bagaimana nasib perempuan yang progresif pada masa
soeharto?
Jika pada masa soekarno organisasi perempuan berkembang
pesat, maka pada masa soeharto terjadi penghancuran organisasi perempuan.
Penghancuran ini dilakukan melalui berbagai berita fitnah masif di berbgaia
media kamiliteran dengan menyebarkan isu keterlibatan dan penyimpangan moral
seksual para anggota organisasi perempuan yang berwatak progresif pada masa
itu.
Bukan hanya itu, pada rezim soeharto membentuk organisasi
perempuan yang jauh dari watak progresif dan kepenting perempuan pekerja
seperti PKK, Dharma Wanita dll. Bahkan kegiatannya pun di atur oleh rezim
soeharto sehingga menghasilkan budaya “ikut suami” dan timbul ideologi ibuisme,
dimana perempuan pada masa itu hanya melakukan kegiatan yang hanya meningkatkan
kecakapannya dalam pekerjaan domestik, seperti menjadi ibu rumah tangga yang
baik, mengurus anak dan lain sebagainya. Bahkan jika perempuan tersebut menjadi
istri seorang pejabat, kegiatan istrinya dikontrol melalui suaminya.